Rabu, 04 Desember 2013

Tidur Bersama Hujan







Kuingin berhenti sampai disini tapi bagaiku tak bisa menemukan damai  yang selama ini kucari. Kuingin menghapus dia dibenakku tapi bayangannya malah menerang di setiap kegelapanku. Ku hendak melanjutkan perjuangan cintaku tapi bagaiku tak kuat lagi menahan rasa perih dari hatiku yang merintih. 
 


Aku tersadar dari keegoisanku selama ini aku hanya peduli apa yang aku mahu namun aku tak pernah mempedulikan apa yang dia mahu. Jika aku terus memaksanya untuk kembali kepangkuanku itu bermakna aku egois dan aku sudah lari jauh dari makna cinta yang sesungguhnya yaitu bisa memahami orang yang dicinta dalam setiap keadaannya. Dia hendak pergi dari kehidupanku maka kuharus ikhlas atas kepergiannya. Biarlah diriku sedih meratapi kepergiannya karena aku percaya bahwa  kesedihan adalah awal dari kebahagian dan kebahagiaan yang bisa kurasakan disaat ini ialah mampu mencerna makna cinta yang sebenarnya, memahami dalam setiap keadaan kekasihku.


Setelah kubergelut dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan akhirnya kuhapus juga nomornya dihandponeku, lalu kubakar foto-fotonya sambil kubermandikan airmata dan kuhapus semua gambar-gambar kami berdua dilaptopku. Aku berjuang mati-matian untuk bisa mengubur semua kenangan kami hingga tak satupun yang tersisa melainkan seutas rantai perak pemberiannya yang selalu melingkar dileherku kemanapun aku pergi. Aku bahkan hampir tak percaya kalau aku baru saja melakukannya dan ku juga setengah yakin kalau aku bisa membebaskan batinku dari siksaan bila setiap kali aku mengingatnya.
 


Semakin ku usahakan untuk menghapus segala kenangan itu tapi justeru bayangannya kian menerang disetiap gerak-gerikku seperti aku lemas tenggelam ketika mengenang dirinya. Ternyata aku sudah salah sesungguhnya tidak ada satupun cara untuk bisa menghapusnya dan dalam sadarku ternyata kenangan pahit itu akan dirubah oleh waktu menjadi harta yang tak ternilai harganya.
 


Dia sudah menjadi bagian dari masa laluku tapi rasa sayangku untuknya tidak pernah setitikpun berkurang sementara cintaku untuknya memang hanya tinggal sebagian. Pengalaman ini sudah menjawab pertanyaanku mengenai perbedaan antara keduanya. Sayang adalah perasaan murni tulus berkekuatan sejati dan abadi, tumbuh mekar, berakar dan harum mewangi dihati sementara cinta suatu perasaan sementara yang berkekuatan dahsyat dan paling norak sedunia dan lebih cenderung kepada nafsu sehingga mereka yang sedang merasakannya tidak bisa berfikir dengan akal yang sejati.
 


Detik-detik yang harus kulalui dengan berusah payah. Satu hari  yang kurasakan bagaikan sehari yang begitu panjang dan melelahkan. Inilah masa yang paling tidak nyaman yang pernah berlabuh dikehidupanku dan ku tak pasti kapan ia akan berlayar. Kupercepatkan pelayarannya dengan melakukan hal-hal yang bisa membuat aku merasakan hidup seperti mendansakan penaku diatas kertas, menonton acara televisi kegemaranku dan bermain bulu tangkis merupakan olahraga favoritku. Kulakukan hal-hal itu berulang-ulang kali untuk setiap harinya dan ku bertekad untuk tidak lagi melihat kebelakang sampai badai yang melandaku kini benar-benar berlalu karna cepat atau lambat ia pasti akan pergi diusir oleh sang waktu.
 


Ketika kamu kehilangan seseorang yang begitu berarti untukmu maka untuk setiap harinya buatlah sesuatu yang membuatmu benar-benar bisa merasakan hidup.
 


Aku tak punya teman dekat di sini jadi masa luangku lebih banyak kugunakan untuk menyendiri di perpustakaan yang letaknya berhadapan langsung dengan bangunan sekolahku di Jurong East. Perpustakaan ini dibuka pada pukul 9 pagi lalu ditutup pada pukul 9.30 malam . Ia terdiri dari 5 lantai; lantai B1 yang letaknya dibawah tanah khusus untuk buku-buku anak-anak, lantai pertama untuk surat kabar dan majalah-majalah yang terhubung langsung dengan kantin, lantai yang kedua dan ketiga untuk buku-buku pengetahuan yang sisi kiri dan kanannya dilengkapi dengan area untuk belajar sementara lantai keempat khusus untuk bacaan buku-buku remaja. Selalunya aku berada di lantai tiga karena ia punya meja dan kursi yang membuatku merasa nyaman saat belajar mata pelajaran kesukaanku atau hanya sekedar membaca novel bahasa Inggris guna meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku. 
 


Sudah sepuluh jam aku berada di perpustakaan yakni sejak pukul 10 pagi hingga jam dihanphone-ku menunjukkan pukul 8 malam jadi kedatanganku satu jam setelah perpustakaan dibuka. Aku memang sudah terbiasa tiba ke perpustakaan pada waktu pagi bahkan terkadang aku datang lebih awal dari waktu ia dibuka karena jika datang agak terlambat sedikit saja maka tidak akan ada lagi kursi dan meja yang menganggur apalagi sekarang hari sabtu maka sudah pasti dipenuhi oleh banyak pengunjung. 
 


Perpustakaan akan ditutup dalam waktu 30 menit lagi dan aku tengah bersiap-siap mengembalikan buku-buku yang kupinjam tadi ke tempat asal mereka. Aku paling suka membaca buku Akuntansi karena itu adalah mata pelajaran favoritku dan bila aku sudah jenuh dengannya maka kuisi kejenuhan itu dengan menulis novel fantasi yang inspirasinya kudapatkan dari bumi Gaza, Palestina. Novel inilah yang nantinya kuharapkan dapat menjadi penyelamat pendidikanku di Singapura. 
 


Seperti biasa kereta listrik dan Bus adalah transportasi yang kugunakan untuk menuju kerumahku yang letaknya di Jurong West blok 706, kira-kira selama 5 menit aku harus berada di dalam kereta listrik yang akan melewati 2 stasiun MRT untuk sampai di Stasiun Mrt Boonlay yang letaknya bersebelahan dengan Terminal bus Boonlay lalu dari terminal bus itu aku harus menunggu kedatangan Bus nomor 145 yang nantinya akan berhenti tepat didepan blok kediamanku. Kini aku sedang menaiki Bus menuju kerumah, mataku sudah melihat perhentian bus yang nantinya aku harus turun di sana maka segera ku tekan tombol berwarna kuning yang akan membunyikan suatu bunyi khas sebagai isyarat kepada  pengemudi bus untuk menghentikan busnya.
 


Berbagai perasaan yang tak menyenangkan sudah mulai bertandang dihatiku. Gelisah, gerah dan gundah yang kurasakan apabila hendak masuk kedalam rumah yang didalamnya ada kak Serin yang acap kali menyerang kedamaianku secara tiba-tiba. Beberapa langkah lagi aku akan berdiri didepan pintu rumah dan perasaan yang tak menyenangkan itu kian menerang dibenakku dan kian menguat dihatiku. 
 


Sekarang adalah malam menyambut bulan suci Ramadahan. Dimalam yang baik ini semoga saja kak Serin dalam keadaan yang baik pula. Pikirku sambil melafaskan bismillahirahmannirahmim.
 


Tuk, tuk, tuk…

Aku memang tidak memegang kunci rumah karena kak Serin melarangku untuk memilikinya meskipun aku sudah berusaha memujuk hatinya namun dia masih bersikeras untuk tidak memperbolehkanku membawa kunci rumah saat keluar. Semua ini dikarenakan perubahan kak Serin yang sampai sekarang ku masih belum pasti penyebab perubahannya. 
 


Tuk, tuk, tuk…

Kuketuk lagi pintu  rumahku dengan lebih berenergi namun masih belum mendapatkan respon dari tuan rumahnya. Jantungku pun kian berpacu laju karena aku takut kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan kak Serin. Aku tidak bisa membunyikan bel karena ia sedang dalam keadaan rusak jadi aku harus mengetuk pintu dengan lebih bersemangat lagi, kuketuk berulang-ulang kali hingga lelah yang kurasakan tapi pintu itu masih belum dibuka juga. Mungkin kak Serin sedang berada diluar pikirku, lalu ku hubungi dia lewat handphone-nya namun masih tak dia hiraukan juga. Pengalaman sebegini memang sudah sering kualami, beginilah caranya aku untuk bisa masuk kedalam rumah. Aku harus menjerit senyaringnya dan mengetuk pintu sekuatnya dan setelah aku lelah dan cukup tersiksa baru pintu yang ada dihadapanku akan dibuka olehnya. 
 



Malam ini berbeda dengan malam-malam yang sebelumnya karena meksipun sudah kuperas otot tanganku dan kukerah kerongkonganku namun aku masih belum bisa masuk kedalam rumah yang ku juga tak pasti apakah kak Serin ada didalamnya. Sudah hampir setengah jam aku berdiri didepan pintu dan kulihat jam dihadphoneku hampir menunjukkan pukul 11 malam. 
 


Kali ini  kuintip kedalam rumah melalui bagian kecil jendela yang tak tertutup oleh tirainya. Kulihat lampu diruang tamu sedang menyala itu berarti kak Serin ada didalam karena sudah hal yang lumrah bahwa rumah-rumah disini apabila dalam kondisi tak berorang alias kosong pasti dalam keadaan bergelap, tujuannya untuk menghemat biaya pemakaian listrik yang dirasakan cukup mahal jika lampu-lampu rumah dibiarkan menyala sepanjang malam. Jika di kampung dulu aku sudah terbiasa tidur dalam keadaan lampu menyala tapi disini aku harus membiasakan diri untuk mematikan lampu kamarku sebelum merehatkan tubuhku di tempat tidur. 
 


Hembusan angin malam yang dingin kian menjadi-jadi apalagi aku sekarang berada di lantai sepuluh membuat udara yang sudah dingin menjadi lebih dingin maka dengan tekad yang bulat kugedor pintu rumah sekuat yang kumampu dan setelah beberapa menit tanpa berhenti melakukannya barulah kudengar suara ketika seseorang membuka kunci pintu dari dalam. Hatiku sedikit melega tapi belum tenang sepenuhnya karena aku tahu bahwa sebentar lagi aku harus menghadapi sifat tidak warasnya kak Serin.
 


Ketika aku sedang melepaskan sepatu unguku tiba-tiba pintu itu ditutup lagi sesaat setelah kak Serin mencampak koperku keluar. Aku tak sempat meminta penjelasannya karena pintu itu sudah dikunci lagi. Sekarang aku sudah tahu alasannya mengapa dia tak mahu aku memiliki kunci rumah karena dia sudah merencanakan untuk mengusirku sejak dulu lagi. Aku baru menyadarinya sekarang sehingga aku tidak punya persiapan sama sekali mengenai pengusiran ini padahal baru saja aku berusaha untuk mendamaikan hati dari badai mantan kekasihku namun sekarang datang lagi badai dari arah yang lain. Cobaan ini terlalu berat untuk kupikul sendiri andai saja dia masih bersamaku sudah pasti aku tidak sesakit seperti sekarang karena Keberadaan kekasih yang setia menemani dalam berbagai kesulitan, akan memberikan tenaga dan kemampuan tambahan dalam menghadapi berbagai permasalahan.
 


Malam ini aku terpaksa tidur diluar bertemankan angin malam yang dingin atau mungkin bertemankan air hujan yang selalu datang bertandang diwaktu tengah malam apalagi sekarang sedang musim hujan. Ku ayunkan kaki-kakiku dengan bersisakan sedikit semangat yang ada, semangatku untuk menerbitkan novel pertamaku yang berkisah tentang peperangan di Gaza, Palestina. Hanya mimpi itu saja yang kini masih menyala membakar setiap ketidakberdayaanku. Aku kuat dan tegar karenanya dan baru kusadari Ternyata mimpi mampu menjadikan kita seperti terumbu karang yang tetap berdiri tegak meskipun diterjang ombak, diterpa badai dan terkena sengatan matahari atau seperti Matahari yang tak pernah mengerang meskipun sudah jutaan tahun tanpa berhenti membakar tubuhnya demi menerangi seisi bumi dan seantaro maya pada. Selagi mimpi masih bersemayam di hati dan di jiwa niscaya tiada keluhan dan erangan saat menjalani masa-masa sulit karena Mimpi menyimpan berjuta harapan dan harapan adalah alasan mengapa kita ingin meneruskan hidup.
 


Kulihat jam dihandphone ternyata belum pukul 12 malam itu artinya masih ada bus yang bisa membawaku pergi jauh dari keberadaan kak Serin karena aku tak mahu kak Serin melihatku atau sebaliknya, entahlah aku merasa tidak nyaman ketika berada didekatnya apalagi harus bersamanya. Bus yang membawaku kini berhenti di Boonlay Terminal Bus, lalu aku menyambung perjalananku dengan berjalan kaki dan aku tidak tahu kemana kaki ini membawa tubuhku yang tengah merasakan letih teramat sangat, bukan hanya fisikku saja yang letih namun juga batinku yang setiap saatnya disiksa oleh berbagai perasaan yang tak mendamaikan. 
 


Kemudian aku duduk ditaman mini yang posisinya ditengah-tengah antara Jurong point sebuah pusat perbelanjaan dengan Stasiun Mrt Boonlay. Aku hanya punya dua pilihan yang mungkin bisa menyelamatkanku dari tidur bersama hujan. Pilihan pertama menumpang tidur di rumah kak Eli yang rumahnya bisa kucapai dengan berjalan kaki dan pilihan kedua aku bisa menginap di rumah kak Eni yang kediamannya di Sembawang dan aku harus menggunakan Mrt dengan perjalannya kira-kira selama 1 setengah jam untuk sampai ke rumahnya. Kubilang mungkin karena hubunganku dengan mereka tidak sebegitu bagus dan itu juga disebabkan oleh kak Serin lalu ditambah dengan permusuhan antara kedua kakakku itu yang sampai kini malah memanas. Aku sudah lama tidak menghubungi mereka apalagi datang berkunjung kerumah mereka jadi sangat tidak pantas kalau aku muncul tiba-tiba dengan keadaan hati dan jiwaku yang terbelunggu masalah.


Aku sedang dalam keadaan terdesak, aku tak punya pilihan melainkan memilih diantara keduanya. Akhirnya dengan melalui berbagai pertimbangan, aku memilih untuk melanjutkan perjalanku kerumah kak Eli yang keberadaannya bisa kucapai dengan berjalan kaki selama kurang lebih lima menit dari posisiku yang sekarang. berbagai pikiran buruk menganggu masuk ke benakku.
 

“bersediakah kak Eli membantuku setelah dia, suaminya dan ibu mertuanya menuduhku sekeluarga telah mengguna-gunai mereka?”  tanyaku pada diri sendiri.
 

“sudah pasti kak Eli akan menolongku karena aku adiknya jadi mustahil dia tega melihat adiknya sendiri dalam penderitaan sementara dia sendiri masih sanggup menolongku” 
 

“kak Eli mungkin tak akan tega tapi bagaimana dengan suami dan ibu mertuanya? Apalagi kedatanganku tidak diundang dan tengah malam pula. Ah peduli apa aku dengan itu semua, aku harus mencobanya dulu mungkin keadaannya sudah berubah seiring berlalunya waktu”
 


Dari Jurong Point ke rumah kak Eli aku berjalan kaki sambil mengheret koperku yang ketinggiannya mencapai lututku. Berjalan kaki di kota dengan di desa itu susananya berbeda. Jika di kota jalannya terasa lapang dan nyaman serta pandangan disekeliling kita ialah gedung-gedung bertingkat yang tertata rapi jadi meskipun perjalanannya jauh tapi terasa dekat sedangkan di desa dengan jalannya yang sempit, terkadang becek setelah hujan lalu kiri dan kanan jalan dipenuhi semak-semak belukar jadi perjalanan yang jauh akan terasa sangat melelahkan. Alasan itulah yang membuatku lebih sering berjalan kaki karena juga bisa menghemat uang dan bagus untuk kesehatan badan.
 


Rumah kak Eli di lantai 4 jadi tak begitu menguras tenaga jika  menapaki anak tangga yang posisinya berdampingan langsung dengan rumahnya tapi malam ini aku merasa begitu lelah sekali seperti semua tulang-tulangku hampir lepas dari persendian mereka sehingga aku harus bergerak beberapa langkah menuju pintu lift. Kutekan tombol pembuka pintu lift dan sesaat kemudian iapun terbuka lalu aku masuk kedalamnya dan menekan tombol angka 4. Pintu lift kemudian terbuka kembali, aku mematung sambil membayangkan apa yang akan terjadi jika aku bertamu kerumah kakakku pada waktu tengah malam dalam kondisiku yang bermasalah. Mungkin kakakku tidak merasa terganggu tapi bagaimana dengan suaminya? Kejadian kemarin sudah jelas dan terang bahwa kehadiranku sekeluarga tidak diinginkan dan bayangan-bayangan buruk itu sudah memuncak lalu menghalangku untuk keluar dari lift dan membiarkan pintu lift tersebut tertutup lagi.
 



Aku tak punya pilihan lagi kecuali tidur bersama angin malam dan mungkin bersama hujan, semoga malam ini hujan tak turun seperti malam-malam sebelumnya. Ada dua playgorund yang letaknya disekitar rumah kak Eli dan aku segera menuju kesana. Playground pertama yang letaknya paling dekat dengan posisiku, suasananya agak gelap serta tidak punya tempat yang nyaman untuk membaringkan tubuhku. Akhirnya aku meninggalkannya lalu berjalan beberapa langkah menuju Playground yang kedua, suasananya terang bercahaya karena sekelilingnya ialah gedung-gedung bertingkat dan ada semacam rumah-rumahan yang atapnya hanya melindungi separuh tubuhku. Di dalam rumah-rumahan itulah aku melabuhkan kesunyian malam ini sampai datangnya sang mentari.
 


Disaat aku membuka kedua mataku ternyata alam sudah menerang, tak kusangka tidurku malam tadi sungguh nyenyak mungkin aku terlalu lelah sehingga gangguan-gangguan tadi malam tak mampu mengusikku. Aku masih belum siap lagi untuk menemui kak Eli dan masih memikirkan cara yang tepat untuk meminta pertolongannya. Hanya dalam keadaan terdesak saja aku akan menemuinya dan keadaanku mungkin belum mencapai batas tersebut. 
 


Malam demi malam aku tidur di dalam rumah-rumahan yang ada di Playgorund. Ketika subuh menjelang udara dinginnya mampu menusuk ke tulang-belulangku. Malam ini hujan menguyur habis tempat tidur dan sekaligus tempatku berteduh yang kemudian memaksaku untuk menghentikan pelayaranku di dunia mimpi. Aku terpaksa pindah dari tempat tidurku yang biasa menuju ke tempat yang sudah kupersiapkan sebelumnya dalam mengatasi datangnya hujan dikala malam. Tempat tidurku yang baru ialah study corner1 yang letaknya berdampingan dengan Playground pertama yang ku tak jadi mendiaminya. 
 



1. Study corner merupakan ruangan khusus yang tidak berdinding namun beratap dan dilengkapi dengan kursi-kursi dan meja-meja untuk belajar. Ia khusus dibangun oleh HDB (perusahaan perumahan Singapura) untuk memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di area tersebut.
 


Meskipun sudah ku ambil beberapa helai pakaian untuk dijadikan selimut tapi aku tetap merasa kedinginan dan tempias air hujan sedikit membasahi tubuhku. Aku semakin kedinginan, aku sudah tak kuat lagi tapi apa yang bisa aku perbuat kecuali harus bertahan sampai datangnya sinar mentari. Sebelumnya belum pernah kumembanyangkan jika hidupku sekarang seperti hidupnya seorang survivor2. Aku bagaikan sedang bermain survivor. Aku memang surviving, aku tidak punya pilihan lain kecuali menjadi survivor disaat-saat ini. Pengalaman tidurku bersama hujan sungguh berkesan sehingga tidak ada pengalaman-pengalamanku yang lain seberkesan itu dan tak kan ada satupun yang bisa menggantikan kedudukannya dihatiku. Ia benar-benar sebuah pengalaman yang paling berharga yang pernah ku rasakan.
 


2         survivor = dalam bahasa indonesia adalah orang yang bisa bertahan hidup dan permainan survivor ialah sebuah permainan relaiti show dimana para pesertanya harus menjalani hidup yang serba terbatas sandang dan pangannya serta jauh dari pemukiman penduduk.


Aku seperti merasa tak punya siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada. Setiap langkah dan gerakku dia selalu ada bersamaku. Dia maha adil, maha tahu dan maha mengerti oleh sebab itu dia tidak akan membiarkan umatnya menderita dalam waktu yang lama apalagi dia tahu bahwa umatnya itu tidak pernah menyerah kalah dan pasti sabar dalam menghadapi segala jenis ujian hidup darinya.  Tiba-tiba handphone-ku yang kutaruh di dalam saku depan tas ransel hitamku sedang menjerit, jeritan yang memberikan pertanda bahwa ada sms yang masuk.
 


Jam berapa kita ingin bertemu? Bagaimana kalau kita berjumpa di Stasiun Mrt Jurong East?
 


Pesan sms dari seseorang lelaki yang kukenal lewat dunia maya, aku memang sudah melihatnya tapi hanya melalui foto jadi belum pernah bertemu mata dan dia sekarang mengajakku untuk bertemu. Jam dihandphone-ku menunjukan pukul 7 malam kurang 15 menit dan aku harus berada di Stasiun Jurong east tepat pada pukul 7 malam. Kebetulan aku sekarang sedang duduk-duduk di taman mini yang sisi kiri dan kanannya adalah Jurong Point dan Stasiun Mrt Boonlay sambil kumenikmati nasi lemak yang kubeli di kedai makan  yang ada di Stasiun Mrt Boonlay, satu-satunya kedai makan yang menjual nasi lemak seharga $2. Dua bungkus nasi lemak sudah cukup untukku bisa bertahan dalam waktu sehari. Nasinya lumayan banyak dimana lauknya bisa kita pilih antara setongkol daging ayam atau telur mata sapi dengan dua sosis, biasanya aku memilih lauk daging ayam. Untuk lebih bisa irit lagi maka sebagai minumannya aku akan mengambil air dari keran ditoilet umum kerena jika membelinya di kedai aku harus mengeluarkan uang paling sedikit $1 Singapura. Seperti itulah caraku bertahan hidup untuk beberapa hari kebelakangan ini. 
 


Aku sedang bersiap-siap menuju ketempat yang dijanjikan untuk kami bertemu. Pada waktu sekarang memang Stasiun Mrt Boonlay sedang dibanjiri oleh banyak manusia yang baru saja pulang dari tempat kerja. Aku harus berdesakan ketika masuk kedalam kereta, mataku tidak melihat ada kursi yang menganggur jadi aku terpaksa berdiri sambil memandang keluar melalui jendela kaca kereta. Aku akan turun di Stasiun Jurong East jadi  kereta listrik ini terlebih dulu akan melewati Stasiun Mrt Lake side dan Stasiun Mrt Chinese Garden, kira-kira  selama 7 menit untuk tiba ke tujuan.
 


Ketika operator menyebutkan perkataan Jurong East maka kereta listrik itupun berhenti dan aku segera keluar bersama segerombolan penumpang yang lainnya. Ku berjalan sambil mengheret koper menuju eskalator yang nantinya akan turun di kaunter Mrt dan segeraku tempelkan kartu Ezlink-ku pada salah satu bagian pagar yang nantinya akan terbuka sendiri setelah ia mengurangi nilai kartu ezlink-ku. Pagar-pagar itu merupakan pintu keluar stasiun sementara kartu ezlink adalah kartu yang digunakan untuk membuka paga-pagar tersebut setelah ia mengurangi nilainya. Untuk mengisi ulang nilai kartunya kita bisa pergi ke kaunternya atau di mesin penambah nilai kartu Ezlink. Kewujudan mereka pasti ada di setiap Stasiun Mrt, nilai minimum pengisiannya $10 Singapura sementara nilai maksimumnya $50.
 


Aku sedang menuruni tangga eskalator yang kedua untuk bisa menginjaki kaki ke lantai dasar. Stasiun Mrt di Singapura memang bertingkat-tingkat, Stasiun Mrt Jurong East saja terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama adalah lantai dasar yang ditempati oleh toko-toko, lantai kedua merupakan tempat kaunter dan mesin penambah nilai kartu Ezlink serta juga merupakan gerbang keluarnya sementara keberadaan landasan rel kereta listrik berada dilantai ketiga. Bahkan beberapa Stasiun Mrt lainnya ada yang memiliki ruang bawah tanah sebagai landasan rel kereta listriknya salah satu contohnya adalah Stasiun Mrt City hall
 


Melalui kewujudan Mrt saja penduduk Singapura sudah bisa berbangga kepada Dunia bahwa negara mereka sudah termasuk negara maju dan mempunyai teknologi yang super canggih dalam menata kotanya disamping itu yang juga tak kalah kukagumi tentang Singapura adalah cara mereka merawat kota yang kupikir terlalu obsesi, itu sesuatu yang sangat bagus namun untuk orang seperti aku ia terkadang merisihkan. Waktu dikampung halamanku dulu, aku bisa membuang sampah semauku tapi disini jika ketahuan melakukannya maka akan mendapat sangsi yang tegas tanpa penawaran sedikitpun begitu juga kalau merokok tidak boleh di sembarang tempat, ada tempat-tempat khusus untuk melakukan aktivitas yang tak menyehatkan ini tidak seperti dikampung halamanku kalau merokok bisa dimana saja bahkan dirumah sakit sekalipun aku pernah melihat beberapa lelaki sedang merokok. Dulu ketika aku baru tinggal di Singapura aku lumayan risih dengan pembersih kedai-kedai makan disini karena mereka acap kali membersihkan meja yang sedang kutempati, kulihat mereka seperti robot pembersih yang sudah diprogramkan secara automatis untuk menghilangkan noda-noda kecil seperti setitik sos atau kecap dimeja atau dilantai ketika mereka menemukannya dan tak jarang kaki-kakiku juga ikut dibersihkan mereka. Sementara dijalanannya akan sangat sulit untuk menemukan sampah meskipun hanya sebuah putung rokok jika ketemu itu hal yang tak wajar dan bukan sesuatu yang mengherankan jika bangunan-bangunan disini bersih mengkilap seperti mereka baru saja dibangun beberapa hari sebelumnya. Jadi bukan hal yang berlebihan jika kubilang bahwa mereka terlalu obsesi dalam merawat kota.
 


Aku sedang menunggunya didepan toko buku yang bernama Popular merupakan toko buku yang paling terkenal disini, kedua bola mataku sedang liar ke kiri dan ke kanan berusaha menemukan seseorang yang ingin mengajakku bertemu malam ini. Mataku sudah melihat seorang lelaki yang wajahnya seakan yang kulihat difoto dan ciri-cirinya juga sama seperti yang dia sebutkan lewat pesan sms. Rambutnya hitam lebat agak panjang untuk seorang lelaki sangat padan dengan tipe wajahnya yang bujur sirih. Matanya tak terlalu besar kurasa lebih besar dari mataku dan aku bisa melihat otot-ototnya dibalik kaos hitam yang sedang ia pakai sementara kakinya terlihat panjang saat dibalut oleh skinny jean warna biru tua dan kedua telapak kakinya beralaskan sepatu warna abu-abu yang kutak pasti mereknya. Dia terlihat begitu sempurna dimataku dan terlalu sempurna untuk gadis kampung yang sekarang adalah perempuan gelandangan yang kujuga tak pasti apakah bau tubuhku dalam keadaan wangi karena sudah tiga hari aku tak mandi dengan sempurna. Rambutku yang sebatas lengan atas belum pernah menyentuh air melainkan air hujan yang turun tadi malam. Sepertinya aku ingin lari sebelum ia menemukanku atau aku harus berpura-pura tidak mengenalnya jika dia menemukanku. Bagaimana aku bisa berkenalan dengan pemuda tampan yang kulitnya lebih cerah dan licin seperti porselen dibandingkan kulitku yang tampak kusam dan berdebu dan penampilannya juga lebih bersih sementara penampilanku benar-benar seorang gelandangan yang sejati dengan sebuah koper disisi kiriku seperti seorang yang baru saja diusir dari rumah. Oh tidak pertemuan ini hanya mempermalukan diriku sendiri tapi aku sangat membutuhkan seorang teman, semoga saja dia bisa melihat daya tarikku disisi yang lain tapi tetap saja aku merasa rendah diri. 
 


Sepertinya dia sudah menemukanku, pandangan matanya sudah tidak liar lagi tapi sekarang sedang tertuju ke arahku. Segera kualihkan mataku ke arah yang lain berpura-pura kalau aku tidak sedang memperhatikannya. Kurasa dia sudah hampir di sisiku karena aku tak berani melihatnya, degup jantungku semakin tak menentu dan kuhirup nafas panjang-panjang berusaha untuk tenang. Aku tidak bisa tenang jika berhadapan dengan seorang lelaki yang fisiknya seperti seorang bintang Film korea. Panik benar-benar sudah menguasai keadaanku bahkan aku tidak sadar ketika tanganku dengan lincah mengambil koper yang kutaruh disisi kiri bermaksud hendak menghindar darinya dan aku masih belum mau melihatnya. Segera ku ayunkan kaki kananku terlebih dulu berjalan kesamping kiri karena jika kumelangkah ke depan sudah pasti akan bertabarakan dengannya. Ketika kaki kiriku hendak melangkah tiba-tiba..
 
 

“where are you going?” oh Tuhan aku sudah gagal melarikan diri mungkin lebih baik seperti itu atau aku bisa menggunakan cara kedua, berpura-pura tidak mengenalnya semoga wajahku yang dia lihat difoto tidak sama dengan wajahku yang dia lihat sekarang. Segera kumemalingkan kepalaku kesumber suara dan saat itulah kami bertemu mata. Dugaanku benar matanya memang agak sipit tapi tidak kecil seperti mata-mata orang cina, wajahnya memang seperti bintang film korea yang selalu kulihat ditelevisi. Aku seperti berhadapan dengan bintang korea favoriku Kim Jim Hoon.
 

“are you Meilani?” Suaranya juga memikat. Oh Tuhan Ternyata dia mengenalku, dia bisa mengenalku mungkin karena aku punya rambut yang lumayan panjang, lebat dan hitam yang merupakan ciri khasku sebab memang semestinya begitu seperti pengalaman-pengalamanku sebelumnya. Aku diam sejenak menimbang-nimbang apakah aku harus berpura-pura tidak mengenalnya atau sebaiknya aku berterus terang kalau akulah perempuan yang sedang dia cari. 
 

“Meilani, right?” nada ucapannya bukan lagi sebuah pertanyaan melainkan kepastian.

“sorry?” seharusnya aku tidak boleh berdalih tapi aku terlalu gugup jadi apa yang ada dipikiranku maka itulah yang akan kuucapkan.
 
 

“see?” balasnya sambil memperlihatkan fotoku yang ada dihandphone-nya. Syukurlah difoto aku kelihatan jauh lebih cantik dan rapi setidaknya dia tahu bahwa aku tidaklah terlalu buruk seperti yang dia lihat sekarang.
 

“No” balasan ku seperti kilat yang menyambar, spontanitas yang keluar dari gugup yang berlebihan. Dia memandangku dengan ekspresi seribu tanda tanya dibenaknya. Kami membisu beberapa saat dan dia melihat wajahku yang sedang menyimpan rasa malu yang tak terhingga.
 
 

“I mean yes. Itu saya” suaraku agak pelan saat mengucapkannya sambilku mengerjapkan kedua mataku lalu menggigit bibir bawahku mencoba untuk bertahan dari rasa malu dan gugup.
 

“oh okay” senyumannya seperti dibuat-buat seperti dia sedang memikirkan tingkah anehku.
 

“I’m Danil” ucapnya dengan ekspresi wajah yang datar.
 

“Hi Danil, you can call me Miu” nada ucapanku seperti orang yang sedang terlewat ceria dan penuh bersemangat, itu adalah salah satu bagian yang mewujud jika aku dalam keadaan yang gugup seakan-akan aku tak bisa mengawal emosiku. Aku memang sekarang sedang merasa senang tapi disaat yang sama aku masih belum yakin mengenai penerimaannya padaku pada pandangan pertama kami yang kuanggap sangat memalukan diriku sendiri.
 


Pandangan matanya berhenti seseaat ke arah koperku berdiri dan aku menyadarinya jadi aku akan menjawabnya terlebih dulu sebelum dia menanyakannya.
 

“oh sebenarnya tadi saya baru selesai kemas-kemas barang dari rumah yang lama di Jurong west dan suitcase ini saya nak letakkan di rumah baru saya di sembawang sebab awak nak jumpa saya di sini so saya rasa ada baiknya kalau saya jumpa awak dulu pat sini” kuusahakan kata-kata itu terdengar tulus tapi dalam hati aku sangat menyesali akan ucapanku barusan karena jujur aku ingin lebih lama dengannya sebab aku sudah tak sanggup lagi bersendirian dengan kesepian yang begitu menyiksa batinku.
 
 

“oh okay so you want go to sembawang right now?” wajahnya tampak kecewa mungkin karena dia mengira bahwa aku tidak begitu serius tentang pertemuan ini padahal akulah yang paling serius dan akulah yang paling mengharapkanya.
 

“yeah tapi kalau awak nak lama-lama, saya okay ja sebab saya memang tak nak balik rumah cepat-cepat” dengan terdesak aku mengatakannya karena aku tak mau dia pergi sekarang. Kata-kataku terdengar seperti sebuah permintaan dari sekadar penjelasan. 
 

“oh okay” kali ini senyumannya benar-benar tulus dan ketampanannya semakin sempurna ketika senyuman itu ikut menghiasi wajahnya.  Lalu dia menyambung ucapannya,
 

“kalau macam itu, ikut aku sekarang” dia sudah bergerak sebelum aku sempat bertanya kemana ia akan membawaku tapi sebenarnya itu tidak terlalu penting karena sekarangpun aku dalam keadaan yang tak punya tempat untuk kutuju jika aku tidak mengikutinya. Aku sempat berpikir bahwa alamlah tempat tinggalku yang sesungguhnya dan apa bedanya aku dengan hewan-hewan yang selalu kulihat dijalanan, tiba-tiba aku merasa sedih ketika mengingat pengusiranku tiga hari yang lalu bahkan aku merasa jauh lebih sedih dari kejadian aku diusir oleh kak Serin kemarin.
 

“is it okay?” ia bertanya kepadaku ketika kami sedang berdiri di tangga eskalator menuju lantai kedua Mrt.
 

“I am okay” jawabku sambil memberikannya senyuman yang jelas sekali dipaksakan.
 

“I mean your suitcase” jarinya menunjuk ke arah koperku.
 

“oh it’s okay. Saya bisa membawanya” Bodoh sekali aku bisa berpikir bahwa dia mau peduli dengan perasaanku dalam waktu secepat itu. 
 

“tak apa aku saja yang membawanya” ucapannya terdengar tidak tulus lebih sesuai untuk basa basi saja.
 

“tak apalah biar saya aja yang bawa” aku juga tak mungkin membiarkannya membawa koper burukku ini, kurasa koper ini lebih buruk dan berdebu dari telapak sepatunya jadi sudah pasti dia gengsi membawanya karena dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya saja dia kelihatan bersinar dan baru.
 


Kami sudah melewati pagar-pagar penghalang yang merupakan pintu masuk Stasiun lalu kami menuju ke tangga eskalator sebelah kiri karena yang sebelah kanannya merupakan jalur kereta menuju ke tempat asalku tadi sebelum bertemu dengannya. Kira-kira dua menit kami menunggu kedatangan kereta tanpa satupun dari kami yang berbicara. Dia masuk kedalam kereta terlebih dulu, ada sederet kursi kosong yang menganggur dan kami serentak menuju kesana juga dalam keadaan yang membisu. Suasananya benar-benar canggung dan beribu alasan menyerang pikiranku kalau dia mungkin kecewa ketika melihatku karena wajahku digambar jauh lebih cantik dari wajahku yang dilihat olehnya sekarang dan mungkin bahkan dia menyesal mengajakku pergi bersamanya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, tatapan matanya lurus kedepan menghadap jendela kaca kereta. Aku sempat merapikan rambutku dengan jemari lalu menghirup udara panjang-panjang dan kemudian menghembuskannya keluar, satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk bisa bersikap tenang. Kulihat dia sedang mengotak-atik handphone-nya dan dia masih bersikap dingin kepadaku, mungkin juga dia malu dengan sekelilingnya karena bersama perempuan yang penampilannya tak terurus. Ah aku terlalu banyak berpikir yang bukan-bukan sehingga memperburuk keadaan. Sebaiknya aku memulai pembicaraan dulu agar suasananya tidak secanggung sekarang. Kereta listrik sedang berhenti di Stasiun Mrt Queenstown itu berarti dua stasiun Mrt sudah terlangkaui dan kami  masih enggan berbicara.
 

“by the way, kita nak pergi kemana eh?” syukurlah aku punya pertanyaan yang tepat untuk memecah kesunyiaan diantara kami sekaligus untuk mengetahui perasaannya melalui ekspresi diwajahnya yang terlihat begitu tegang. 
 

“Redhill” jawaban yang mengindikasikan bahwa dia tidak sedang tertarik untuk berbicara bahkan matanya masih setia menatap handphone-nya. Dugaanku benar bahwa dia tidak suka denganku, dia sama saja dengan lelaki-lelaki tampan lainnya yang angkuh, bertingkah dan gengsian. 
 

“oh okay, asal awak ajak saya pergi Redhill?” sekali lagi aku memancingnya untuk berbicara karena bagai aku tak sanggup lagi berada disuasana yang sungguh membuatku merasa terasing, cukup aku merasakan suasana sedemikian saat aku di kelas 1 SMU dulu dan aku tak sanggup merasakannya lagi. Inilah perasaan yang paling tak nyaman, sedetik seperti detik yang begitu panjang dan membosankan.
 

“sorry?” kali ini dia memalingkan wajahnya ke arahku dengan ekspresi wajah supaya aku mengulangi pertanyaanku yang barusan.
 

“never mind, lupakan aja” dengan senyum yang kupaksakan. 
 

“oh okay” dia kembali meyibukkan diri dengan handphone-nya. Sekarang sudah jelas bahwa dia tak suka kehadiranku, handphone itu hanya alasan untuk dia menghindariku. Aku sangat menyesal karena bertemu dengannya dan bahkan sekarang mengikutinya dan jauh lebih baik seandainya aku berdiam diri di dalam rumah-rumahan yang ada di Playground jadi aku tak akan merasakan suasana yang sangat tak nyaman yang rasanya sama seperti aku diasingkan oleh teman-teman sekelasku ketika di kelas 1 SMU dulu.
 


Rasa kecewa yang menguasai keadaanku membuat aku tak sadar bahwa kereta listrik yang kami tumpangi sudah tiba di Redhill.
 

“hei, dah sampai. Jom!” ucapannya yang kupikir terlalu kasar untuk orang yang baru dia kenal. Aku mengikutinya dari belakang sambil mengheret koper. Sengaja aku bergerak pelan untuk membuat jarak dengannya sekaligus kuingin tahu reaksinya. Aku sudah jauh dibelakangnya tapi dia masih enggan menoleh kebelakang dan semakin kupelankan langkahku sebagai bentuk luahan dari rasa kesal dan kecewa. Aku baru saja menuruni tangga eskalator menuju lantai dasar sementara dia sudah berada di pagar-pagar penghalang yang merupakan pintu keluar stasiun Mrt yang juga terletak dilantai dasar karena Stasiun Mrt redhill hanya memiliki dua lantai dimana lantai kedua merupakan landasan rel keretanya.
 

Kehadirannya sudah lenyap dari kedua bola mataku kurasa dia sudah melewati pagar-pagar penghalang itu. Ayunan langkah kaki-kakiku dipercepat menuju pagar-pagar penghalang dan segera kutempel kartu ezlink-ku untuk bisa membukanya lalu kulihat nilainya tinggal $1.50c bermakna aku harus menambah nilainya jika aku masih ingin menggunakan Mrt lagi sebagai alat transportasi. Ketika beberapa langkah aku menjauh dari pagar-pagar Mrt itu tapi masih di dalam stasiun, kewujudannya kembali terlukis di bola mataku. Setelah dia menyadari tatapanku kepadanya lalu dia kembali berjalan menuju sisi kiri Stasiun seolah-olah memberi kesan kepadaku untuk mengikutinya. Aku tak punya pilihan yang lebih baik melainkan mengikutinya dari belakang. Tatapannya tadi sudah seperti pembunuh berdarah dingin saja, wajahnya datar tanpa ekspresi. Beruntung ketampannya mampu sedikit munutupi sesuatu yang buruk darinya.
 

Ada tiga hal yang kunilai tentang Danil. Pertama dia bukan warga lokal karena logat bicaranya berbeda dengan orang-orang Singapura. Kedua dia tidak meyukaiku dan menyesal karena membawaku pergi bersamanya hal itu terlihat dari sikapnya yang enggan bila kuajak berbicara dan yang ketiga dia lelaki tampan yang angkuh sama dengan lelaki-lelaki yang punya wajah sempurna lainnya dan memang semestinya begitu.




Dia sudah melewati sisi kiri Stasiun Mrt lalu lenyap dibalik dinding tembok Stasiun dan kupercepatkan langkahku agar bayangannya kembali muncul dibola mataku. Aku sudah merangkai tekad yang bulat untuk terus bersamanya alasannya tentu saja bukan aku suka tetapi sikapnya yang meremehkanku justeru itu yang membuat diriku merasa tertantang untuk mengikutinya. Hal sama yang kulakukan kepada mantan kekasihku dua bulan yang lalu. Akhir-akhir ini hidupku memang penuh dengan tantangan dan aku menyukainya mungkin karena aku sudah terlalu lama berdiam diri atau hidup dengan melakukan sesuatu yang diulang-ulang tiap harinya. 
 
 
 
http://novelmao.blogspot.com/2012/11/chapter-3-tidur-bersama-hujan.html