Kuingin berhenti sampai disini tapi bagaiku tak bisa
menemukan damai yang selama ini kucari. Kuingin
menghapus dia dibenakku tapi bayangannya malah menerang di setiap kegelapanku.
Ku hendak melanjutkan perjuangan cintaku tapi bagaiku tak kuat lagi menahan
rasa perih dari hatiku yang merintih.
Aku tersadar dari keegoisanku selama ini aku hanya peduli apa
yang aku mahu namun aku tak pernah mempedulikan apa yang dia mahu. Jika aku
terus memaksanya untuk kembali kepangkuanku itu bermakna aku egois dan aku
sudah lari jauh dari makna cinta yang sesungguhnya yaitu bisa memahami orang
yang dicinta dalam setiap keadaannya. Dia hendak pergi dari kehidupanku maka kuharus
ikhlas atas kepergiannya. Biarlah diriku sedih meratapi kepergiannya karena aku
percaya bahwa kesedihan adalah awal dari
kebahagian dan kebahagiaan yang bisa kurasakan disaat ini ialah mampu mencerna
makna cinta yang sebenarnya, memahami dalam setiap keadaan kekasihku.
Setelah kubergelut dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan
akhirnya kuhapus juga nomornya dihandponeku, lalu kubakar foto-fotonya sambil kubermandikan
airmata dan kuhapus semua gambar-gambar kami berdua dilaptopku. Aku berjuang
mati-matian untuk bisa mengubur semua kenangan kami hingga tak satupun yang
tersisa melainkan seutas rantai perak pemberiannya yang selalu melingkar
dileherku kemanapun aku pergi. Aku bahkan hampir tak percaya kalau aku baru
saja melakukannya dan ku juga setengah yakin kalau aku bisa membebaskan batinku
dari siksaan bila setiap kali aku mengingatnya.
Semakin ku usahakan untuk menghapus segala kenangan itu tapi
justeru bayangannya kian menerang disetiap gerak-gerikku seperti aku lemas
tenggelam ketika mengenang dirinya. Ternyata aku sudah salah sesungguhnya tidak
ada satupun cara untuk bisa menghapusnya dan dalam sadarku ternyata kenangan
pahit itu akan dirubah oleh waktu menjadi harta yang tak ternilai harganya.
Dia sudah menjadi bagian dari masa laluku tapi rasa sayangku
untuknya tidak pernah setitikpun berkurang sementara cintaku untuknya memang
hanya tinggal sebagian. Pengalaman ini sudah menjawab pertanyaanku mengenai
perbedaan antara keduanya. Sayang adalah perasaan murni tulus berkekuatan
sejati dan abadi, tumbuh mekar, berakar dan harum mewangi dihati sementara
cinta suatu perasaan sementara yang berkekuatan dahsyat dan paling norak
sedunia dan lebih cenderung kepada nafsu sehingga mereka yang sedang
merasakannya tidak bisa berfikir dengan akal yang sejati.
Detik-detik yang harus kulalui dengan berusah payah. Satu hari
yang kurasakan bagaikan sehari yang
begitu panjang dan melelahkan. Inilah masa yang paling tidak nyaman yang pernah
berlabuh dikehidupanku dan ku tak pasti kapan ia akan berlayar. Kupercepatkan
pelayarannya dengan melakukan hal-hal yang bisa membuat aku merasakan hidup
seperti mendansakan penaku diatas kertas, menonton acara televisi kegemaranku
dan bermain bulu tangkis merupakan olahraga favoritku. Kulakukan hal-hal itu berulang-ulang
kali untuk setiap harinya dan ku bertekad untuk tidak lagi melihat kebelakang
sampai badai yang melandaku kini benar-benar berlalu karna cepat atau lambat ia
pasti akan pergi diusir oleh sang waktu.
Ketika kamu kehilangan
seseorang yang begitu berarti untukmu maka untuk setiap harinya buatlah sesuatu
yang membuatmu benar-benar bisa merasakan hidup.
Aku tak punya teman dekat di sini jadi masa luangku lebih
banyak kugunakan untuk menyendiri di perpustakaan yang letaknya berhadapan
langsung dengan bangunan sekolahku di Jurong East. Perpustakaan ini dibuka pada
pukul 9 pagi lalu ditutup pada pukul 9.30 malam . Ia terdiri dari 5 lantai;
lantai B1 yang letaknya dibawah tanah khusus untuk buku-buku anak-anak, lantai
pertama untuk surat kabar dan majalah-majalah yang terhubung langsung dengan
kantin, lantai yang kedua dan ketiga untuk buku-buku pengetahuan yang sisi kiri
dan kanannya dilengkapi dengan area untuk belajar sementara lantai keempat
khusus untuk bacaan buku-buku remaja. Selalunya aku berada di lantai tiga
karena ia punya meja dan kursi yang membuatku merasa nyaman saat belajar mata
pelajaran kesukaanku atau hanya sekedar membaca novel bahasa Inggris guna
meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku.
Sudah sepuluh jam aku berada di perpustakaan yakni sejak
pukul 10 pagi hingga jam dihanphone-ku menunjukkan pukul 8 malam jadi kedatanganku
satu jam setelah perpustakaan dibuka. Aku memang sudah terbiasa tiba ke
perpustakaan pada waktu pagi bahkan terkadang aku datang lebih awal dari waktu
ia dibuka karena jika datang agak terlambat sedikit saja maka tidak akan ada lagi
kursi dan meja yang menganggur apalagi sekarang hari sabtu maka sudah pasti
dipenuhi oleh banyak pengunjung.
Perpustakaan akan ditutup dalam waktu 30 menit lagi dan aku
tengah bersiap-siap mengembalikan buku-buku yang kupinjam tadi ke tempat asal
mereka. Aku paling suka membaca buku Akuntansi karena itu adalah mata pelajaran
favoritku dan bila aku sudah jenuh dengannya maka kuisi kejenuhan itu dengan
menulis novel fantasi yang inspirasinya kudapatkan dari bumi Gaza, Palestina. Novel inilah yang
nantinya kuharapkan dapat menjadi penyelamat pendidikanku di Singapura.
Seperti biasa kereta listrik dan Bus adalah transportasi yang
kugunakan untuk menuju kerumahku yang letaknya di Jurong West blok 706,
kira-kira selama 5 menit aku harus berada di dalam kereta listrik yang akan
melewati 2 stasiun MRT untuk sampai di Stasiun Mrt Boonlay yang letaknya
bersebelahan dengan Terminal bus Boonlay lalu dari terminal bus itu aku harus
menunggu kedatangan Bus nomor 145 yang nantinya akan berhenti tepat didepan
blok kediamanku. Kini aku sedang menaiki Bus menuju kerumah, mataku sudah
melihat perhentian bus yang nantinya aku harus turun di sana maka segera ku tekan tombol berwarna
kuning yang akan membunyikan suatu bunyi khas sebagai isyarat kepada pengemudi bus untuk menghentikan busnya.
Berbagai perasaan yang tak menyenangkan sudah mulai
bertandang dihatiku. Gelisah, gerah dan gundah yang kurasakan apabila hendak
masuk kedalam rumah yang didalamnya ada kak Serin yang acap kali menyerang
kedamaianku secara tiba-tiba. Beberapa langkah lagi aku akan berdiri didepan
pintu rumah dan perasaan yang tak menyenangkan itu kian menerang dibenakku dan
kian menguat dihatiku.
Sekarang adalah malam
menyambut bulan suci Ramadahan. Dimalam yang baik ini semoga saja kak Serin
dalam keadaan yang baik pula. Pikirku sambil melafaskan bismillahirahmannirahmim.
Tuk, tuk, tuk…
Aku memang tidak memegang kunci rumah karena kak Serin
melarangku untuk memilikinya meskipun aku sudah berusaha memujuk hatinya namun
dia masih bersikeras untuk tidak memperbolehkanku membawa kunci rumah saat
keluar. Semua ini dikarenakan perubahan kak Serin yang sampai sekarang ku masih
belum pasti penyebab perubahannya.
Tuk, tuk, tuk…
Kuketuk lagi pintu
rumahku dengan lebih berenergi namun masih belum mendapatkan respon dari
tuan rumahnya. Jantungku pun kian berpacu laju karena aku takut kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan kak Serin. Aku tidak bisa
membunyikan bel karena ia sedang dalam keadaan rusak jadi aku harus mengetuk
pintu dengan lebih bersemangat lagi, kuketuk berulang-ulang kali hingga lelah
yang kurasakan tapi pintu itu masih belum dibuka juga. Mungkin kak Serin sedang
berada diluar pikirku, lalu ku hubungi dia lewat handphone-nya namun masih tak
dia hiraukan juga. Pengalaman sebegini memang sudah sering kualami, beginilah
caranya aku untuk bisa masuk kedalam rumah. Aku harus menjerit senyaringnya dan
mengetuk pintu sekuatnya dan setelah aku lelah dan cukup tersiksa baru pintu
yang ada dihadapanku akan dibuka olehnya.
Malam ini berbeda dengan malam-malam yang sebelumnya karena
meksipun sudah kuperas otot tanganku dan kukerah kerongkonganku namun aku masih
belum bisa masuk kedalam rumah yang ku juga tak pasti apakah kak Serin ada
didalamnya. Sudah hampir setengah jam aku berdiri didepan pintu dan kulihat jam
dihadphoneku hampir menunjukkan pukul 11 malam.
Kali ini kuintip
kedalam rumah melalui bagian kecil jendela yang tak tertutup oleh tirainya.
Kulihat lampu diruang tamu sedang menyala itu berarti kak Serin ada didalam
karena sudah hal yang lumrah bahwa rumah-rumah disini apabila dalam kondisi tak
berorang alias kosong pasti dalam keadaan bergelap, tujuannya untuk menghemat
biaya pemakaian listrik yang dirasakan cukup mahal jika lampu-lampu rumah
dibiarkan menyala sepanjang malam. Jika di kampung dulu aku sudah terbiasa
tidur dalam keadaan lampu menyala tapi disini aku harus membiasakan diri untuk
mematikan lampu kamarku sebelum merehatkan tubuhku di tempat tidur.
Hembusan angin malam yang dingin kian menjadi-jadi apalagi
aku sekarang berada di lantai sepuluh membuat udara yang sudah dingin menjadi
lebih dingin maka dengan tekad yang bulat kugedor pintu rumah sekuat yang
kumampu dan setelah beberapa menit tanpa berhenti melakukannya barulah kudengar
suara ketika seseorang membuka kunci pintu dari dalam. Hatiku sedikit melega
tapi belum tenang sepenuhnya karena aku tahu bahwa sebentar lagi aku harus
menghadapi sifat tidak warasnya kak Serin.
Ketika aku sedang melepaskan sepatu unguku tiba-tiba pintu
itu ditutup lagi sesaat setelah kak Serin mencampak koperku keluar. Aku tak
sempat meminta penjelasannya karena pintu itu sudah dikunci lagi. Sekarang aku
sudah tahu alasannya mengapa dia tak mahu aku memiliki kunci rumah karena dia
sudah merencanakan untuk mengusirku sejak dulu lagi. Aku baru menyadarinya
sekarang sehingga aku tidak punya persiapan sama sekali mengenai pengusiran ini
padahal baru saja aku berusaha untuk mendamaikan hati dari badai mantan kekasihku
namun sekarang datang lagi badai dari arah yang lain. Cobaan ini terlalu berat
untuk kupikul sendiri andai saja dia masih bersamaku sudah pasti aku tidak sesakit
seperti sekarang karena Keberadaan kekasih yang setia menemani dalam berbagai
kesulitan, akan memberikan tenaga dan kemampuan tambahan dalam menghadapi
berbagai permasalahan.
Malam ini aku terpaksa tidur diluar bertemankan angin malam
yang dingin atau mungkin bertemankan air hujan yang selalu datang bertandang
diwaktu tengah malam apalagi sekarang sedang musim hujan. Ku ayunkan
kaki-kakiku dengan bersisakan sedikit semangat yang ada, semangatku untuk
menerbitkan novel pertamaku yang berkisah tentang peperangan di Gaza,
Palestina. Hanya mimpi itu saja yang kini masih menyala membakar setiap
ketidakberdayaanku. Aku kuat dan tegar karenanya dan baru kusadari Ternyata
mimpi mampu menjadikan kita seperti terumbu karang yang tetap berdiri tegak meskipun
diterjang ombak, diterpa badai dan terkena sengatan matahari atau seperti
Matahari yang tak pernah mengerang meskipun sudah jutaan tahun tanpa berhenti
membakar tubuhnya demi menerangi seisi bumi dan seantaro maya pada. Selagi
mimpi masih bersemayam di hati dan di jiwa niscaya tiada keluhan dan erangan
saat menjalani masa-masa sulit karena Mimpi menyimpan berjuta harapan dan
harapan adalah alasan mengapa kita ingin meneruskan hidup.
Kulihat jam dihandphone ternyata belum pukul 12 malam itu
artinya masih ada bus yang bisa membawaku pergi jauh dari keberadaan kak Serin
karena aku tak mahu kak Serin melihatku atau sebaliknya, entahlah aku merasa
tidak nyaman ketika berada didekatnya apalagi harus bersamanya. Bus yang
membawaku kini berhenti di Boonlay Terminal Bus, lalu aku menyambung
perjalananku dengan berjalan kaki dan aku tidak tahu kemana kaki ini membawa
tubuhku yang tengah merasakan letih teramat sangat, bukan hanya fisikku saja
yang letih namun juga batinku yang setiap saatnya disiksa oleh berbagai
perasaan yang tak mendamaikan.
Kemudian aku duduk ditaman mini yang posisinya
ditengah-tengah antara Jurong point sebuah pusat perbelanjaan dengan Stasiun
Mrt Boonlay. Aku hanya punya dua pilihan yang mungkin bisa menyelamatkanku dari
tidur bersama hujan. Pilihan pertama menumpang tidur di rumah kak Eli yang
rumahnya bisa kucapai dengan berjalan kaki dan pilihan kedua aku bisa menginap
di rumah kak Eni yang kediamannya di Sembawang dan aku harus menggunakan Mrt
dengan perjalannya kira-kira selama 1 setengah jam untuk sampai ke rumahnya.
Kubilang mungkin karena hubunganku dengan mereka tidak sebegitu bagus dan itu
juga disebabkan oleh kak Serin lalu ditambah dengan permusuhan antara kedua
kakakku itu yang sampai kini malah memanas. Aku sudah lama tidak menghubungi
mereka apalagi datang berkunjung kerumah mereka jadi sangat tidak pantas kalau
aku muncul tiba-tiba dengan keadaan hati dan jiwaku yang terbelunggu masalah.
Aku sedang dalam keadaan terdesak, aku tak punya pilihan
melainkan memilih diantara keduanya. Akhirnya dengan melalui berbagai
pertimbangan, aku memilih untuk melanjutkan perjalanku kerumah kak Eli yang
keberadaannya bisa kucapai dengan berjalan kaki selama kurang lebih lima menit dari posisiku yang sekarang.
berbagai pikiran buruk menganggu masuk ke benakku.
“bersediakah kak Eli membantuku setelah dia, suaminya dan ibu
mertuanya menuduhku sekeluarga telah mengguna-gunai mereka?” tanyaku pada diri sendiri.
“sudah pasti kak Eli akan menolongku karena aku adiknya jadi
mustahil dia tega melihat adiknya sendiri dalam penderitaan sementara dia
sendiri masih sanggup menolongku”
“kak Eli mungkin tak akan tega tapi bagaimana dengan suami
dan ibu mertuanya? Apalagi kedatanganku tidak diundang dan tengah malam pula.
Ah peduli apa aku dengan itu semua, aku harus mencobanya dulu mungkin
keadaannya sudah berubah seiring berlalunya waktu”
Dari Jurong Point ke rumah kak Eli aku berjalan kaki sambil
mengheret koperku yang ketinggiannya mencapai lututku. Berjalan kaki di kota dengan di desa itu susananya
berbeda. Jika di kota jalannya terasa lapang dan nyaman serta pandangan
disekeliling kita ialah gedung-gedung bertingkat yang tertata rapi jadi
meskipun perjalanannya jauh tapi terasa dekat sedangkan di desa dengan jalannya
yang sempit, terkadang becek setelah hujan lalu kiri dan kanan jalan dipenuhi
semak-semak belukar jadi perjalanan yang jauh akan terasa sangat melelahkan. Alasan
itulah yang membuatku lebih sering berjalan kaki karena juga bisa menghemat
uang dan bagus untuk kesehatan badan.
Rumah kak Eli di lantai 4 jadi tak begitu menguras tenaga
jika menapaki anak tangga yang posisinya
berdampingan langsung dengan rumahnya tapi malam ini aku merasa begitu lelah
sekali seperti semua tulang-tulangku hampir lepas dari persendian mereka
sehingga aku harus bergerak beberapa langkah menuju pintu lift. Kutekan tombol
pembuka pintu lift dan sesaat kemudian iapun terbuka lalu aku masuk kedalamnya
dan menekan tombol angka 4. Pintu lift kemudian terbuka kembali, aku mematung
sambil membayangkan apa yang akan terjadi jika aku bertamu kerumah kakakku pada
waktu tengah malam dalam kondisiku yang bermasalah. Mungkin kakakku tidak
merasa terganggu tapi bagaimana dengan suaminya? Kejadian kemarin sudah jelas
dan terang bahwa kehadiranku sekeluarga tidak diinginkan dan bayangan-bayangan
buruk itu sudah memuncak lalu menghalangku untuk keluar dari lift dan
membiarkan pintu lift tersebut tertutup lagi.
Aku tak punya pilihan lagi kecuali tidur bersama angin malam
dan mungkin bersama hujan, semoga malam ini hujan tak turun seperti malam-malam
sebelumnya. Ada dua playgorund yang
letaknya disekitar rumah kak Eli dan aku segera menuju kesana. Playground pertama yang letaknya paling
dekat dengan posisiku, suasananya agak gelap serta tidak punya tempat yang
nyaman untuk membaringkan tubuhku. Akhirnya aku meninggalkannya lalu berjalan
beberapa langkah menuju Playground
yang kedua, suasananya terang bercahaya karena sekelilingnya ialah
gedung-gedung bertingkat dan ada semacam rumah-rumahan yang atapnya hanya
melindungi separuh tubuhku. Di dalam rumah-rumahan itulah aku melabuhkan
kesunyian malam ini sampai datangnya sang mentari.
Disaat aku membuka kedua mataku ternyata alam sudah menerang,
tak kusangka tidurku malam tadi sungguh nyenyak mungkin aku terlalu lelah
sehingga gangguan-gangguan tadi malam tak mampu mengusikku. Aku masih belum
siap lagi untuk menemui kak Eli dan masih memikirkan cara yang tepat untuk
meminta pertolongannya. Hanya dalam keadaan terdesak saja aku akan menemuinya
dan keadaanku mungkin belum mencapai batas tersebut.
Malam demi malam aku tidur di dalam rumah-rumahan yang ada di
Playgorund. Ketika subuh menjelang
udara dinginnya mampu menusuk ke tulang-belulangku. Malam ini hujan menguyur habis
tempat tidur dan sekaligus tempatku berteduh yang kemudian memaksaku untuk menghentikan
pelayaranku di dunia mimpi. Aku terpaksa pindah dari tempat tidurku yang biasa
menuju ke tempat yang sudah kupersiapkan sebelumnya dalam mengatasi datangnya
hujan dikala malam. Tempat tidurku yang baru ialah study corner1 yang letaknya berdampingan
dengan Playground pertama yang ku tak jadi mendiaminya.
1. Study corner merupakan ruangan khusus yang tidak
berdinding namun beratap dan dilengkapi dengan kursi-kursi dan meja-meja untuk
belajar. Ia khusus dibangun oleh HDB (perusahaan perumahan Singapura) untuk
memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di area tersebut.
Meskipun sudah ku ambil beberapa helai pakaian untuk
dijadikan selimut tapi aku tetap merasa kedinginan dan tempias air hujan
sedikit membasahi tubuhku. Aku semakin kedinginan, aku sudah tak kuat lagi tapi
apa yang bisa aku perbuat kecuali harus bertahan sampai datangnya sinar
mentari. Sebelumnya belum pernah kumembanyangkan jika hidupku sekarang seperti
hidupnya seorang survivor2.
Aku bagaikan sedang bermain survivor.
Aku memang surviving, aku tidak punya
pilihan lain kecuali menjadi survivor
disaat-saat ini. Pengalaman tidurku bersama hujan sungguh berkesan sehingga
tidak ada pengalaman-pengalamanku yang lain seberkesan itu dan tak kan ada satupun yang bisa menggantikan
kedudukannya dihatiku. Ia benar-benar sebuah pengalaman yang paling berharga
yang pernah ku rasakan.
2
survivor = dalam bahasa indonesia adalah orang yang bisa
bertahan hidup dan permainan survivor ialah sebuah permainan relaiti show
dimana para pesertanya harus menjalani hidup yang serba terbatas sandang dan
pangannya serta jauh dari pemukiman penduduk.
Aku seperti merasa tak punya siapa-siapa kecuali Allah di
dalam dada. Setiap langkah dan gerakku dia selalu ada bersamaku. Dia maha adil,
maha tahu dan maha mengerti oleh sebab itu dia tidak akan membiarkan umatnya
menderita dalam waktu yang lama apalagi dia tahu bahwa umatnya itu tidak pernah
menyerah kalah dan pasti sabar dalam menghadapi segala jenis ujian hidup
darinya. Tiba-tiba handphone-ku yang
kutaruh di dalam saku depan tas ransel hitamku sedang menjerit, jeritan yang
memberikan pertanda bahwa ada sms yang masuk.
Jam berapa kita ingin
bertemu? Bagaimana kalau kita berjumpa di Stasiun Mrt Jurong East?
Pesan sms dari seseorang lelaki yang kukenal lewat dunia maya,
aku memang sudah melihatnya tapi hanya melalui foto jadi belum pernah bertemu
mata dan dia sekarang mengajakku untuk bertemu. Jam dihandphone-ku menunjukan
pukul 7 malam kurang 15 menit dan aku harus berada di Stasiun Jurong east tepat
pada pukul 7 malam. Kebetulan aku sekarang sedang duduk-duduk di taman mini yang
sisi kiri dan kanannya adalah Jurong Point dan Stasiun Mrt Boonlay sambil kumenikmati
nasi lemak yang kubeli di kedai makan
yang ada di Stasiun Mrt Boonlay, satu-satunya kedai makan yang menjual
nasi lemak seharga $2. Dua bungkus nasi lemak sudah cukup untukku bisa bertahan
dalam waktu sehari. Nasinya lumayan banyak dimana lauknya bisa kita pilih
antara setongkol daging ayam atau telur mata sapi dengan dua sosis, biasanya
aku memilih lauk daging ayam. Untuk lebih bisa irit lagi maka sebagai
minumannya aku akan mengambil air dari keran ditoilet umum kerena jika
membelinya di kedai aku harus mengeluarkan uang paling sedikit $1 Singapura.
Seperti itulah caraku bertahan hidup untuk beberapa hari kebelakangan ini.
Aku sedang bersiap-siap menuju ketempat yang dijanjikan untuk
kami bertemu. Pada waktu sekarang memang Stasiun Mrt Boonlay sedang dibanjiri
oleh banyak manusia yang baru saja pulang dari tempat kerja. Aku harus
berdesakan ketika masuk kedalam kereta, mataku tidak melihat ada kursi yang
menganggur jadi aku terpaksa berdiri sambil memandang keluar melalui jendela
kaca kereta. Aku akan turun di Stasiun Jurong East jadi kereta listrik ini terlebih dulu akan
melewati Stasiun Mrt Lake side dan Stasiun Mrt Chinese Garden, kira-kira selama 7 menit untuk tiba ke tujuan.
Ketika operator menyebutkan perkataan Jurong East maka kereta
listrik itupun berhenti dan aku segera keluar bersama segerombolan penumpang
yang lainnya. Ku berjalan sambil mengheret koper menuju eskalator yang nantinya
akan turun di kaunter Mrt dan segeraku tempelkan kartu Ezlink-ku pada salah
satu bagian pagar yang nantinya akan terbuka sendiri setelah ia mengurangi
nilai kartu ezlink-ku. Pagar-pagar itu merupakan pintu keluar stasiun sementara
kartu ezlink adalah kartu yang digunakan untuk membuka paga-pagar tersebut
setelah ia mengurangi nilainya. Untuk mengisi ulang nilai kartunya kita bisa
pergi ke kaunternya atau di mesin penambah nilai kartu Ezlink. Kewujudan mereka
pasti ada di setiap Stasiun Mrt, nilai minimum pengisiannya $10 Singapura sementara
nilai maksimumnya $50.
Aku sedang menuruni tangga eskalator yang kedua untuk bisa
menginjaki kaki ke lantai dasar. Stasiun Mrt di Singapura memang
bertingkat-tingkat, Stasiun Mrt Jurong East saja terdiri dari tiga lantai.
Lantai pertama adalah lantai dasar yang ditempati oleh toko-toko, lantai kedua
merupakan tempat kaunter dan mesin penambah nilai kartu Ezlink serta juga
merupakan gerbang keluarnya sementara keberadaan landasan rel kereta listrik
berada dilantai ketiga. Bahkan beberapa Stasiun Mrt lainnya ada yang memiliki
ruang bawah tanah sebagai landasan rel kereta listriknya salah satu contohnya
adalah Stasiun Mrt City hall.
Melalui kewujudan Mrt saja penduduk Singapura sudah bisa
berbangga kepada Dunia bahwa negara mereka sudah termasuk negara maju dan
mempunyai teknologi yang super canggih dalam menata kotanya disamping itu yang
juga tak kalah kukagumi tentang Singapura adalah cara mereka merawat kota yang
kupikir terlalu obsesi, itu sesuatu yang sangat bagus namun untuk orang seperti
aku ia terkadang merisihkan. Waktu dikampung halamanku dulu, aku bisa membuang
sampah semauku tapi disini jika ketahuan melakukannya maka akan mendapat sangsi
yang tegas tanpa penawaran sedikitpun begitu juga kalau merokok tidak boleh di sembarang
tempat, ada tempat-tempat khusus untuk melakukan aktivitas yang tak menyehatkan
ini tidak seperti dikampung halamanku kalau merokok bisa dimana saja bahkan
dirumah sakit sekalipun aku pernah melihat beberapa lelaki sedang merokok. Dulu
ketika aku baru tinggal di Singapura aku lumayan risih dengan pembersih
kedai-kedai makan disini karena mereka acap kali membersihkan meja yang sedang
kutempati, kulihat mereka seperti robot pembersih yang sudah diprogramkan secara
automatis untuk menghilangkan noda-noda kecil seperti setitik sos atau kecap
dimeja atau dilantai ketika mereka menemukannya dan tak jarang kaki-kakiku juga
ikut dibersihkan mereka. Sementara dijalanannya akan sangat sulit untuk
menemukan sampah meskipun hanya sebuah putung rokok jika ketemu itu hal yang
tak wajar dan bukan sesuatu yang mengherankan jika bangunan-bangunan disini
bersih mengkilap seperti mereka baru saja dibangun beberapa hari sebelumnya. Jadi
bukan hal yang berlebihan jika kubilang bahwa mereka terlalu obsesi dalam
merawat kota.
Aku sedang menunggunya didepan toko buku yang bernama Popular merupakan toko buku yang paling
terkenal disini, kedua bola mataku sedang liar ke kiri dan ke kanan berusaha
menemukan seseorang yang ingin mengajakku bertemu malam ini. Mataku sudah
melihat seorang lelaki yang wajahnya seakan yang kulihat difoto dan
ciri-cirinya juga sama seperti yang dia sebutkan lewat pesan sms. Rambutnya hitam
lebat agak panjang untuk seorang lelaki sangat padan dengan tipe wajahnya yang
bujur sirih. Matanya tak terlalu besar kurasa lebih besar dari mataku dan aku
bisa melihat otot-ototnya dibalik kaos hitam yang sedang ia pakai sementara
kakinya terlihat panjang saat dibalut oleh skinny jean warna biru tua dan kedua
telapak kakinya beralaskan sepatu warna abu-abu yang kutak pasti mereknya. Dia
terlihat begitu sempurna dimataku dan terlalu sempurna untuk gadis kampung yang
sekarang adalah perempuan gelandangan yang kujuga tak pasti apakah bau tubuhku
dalam keadaan wangi karena sudah tiga hari aku tak mandi dengan sempurna.
Rambutku yang sebatas lengan atas belum pernah menyentuh air melainkan air
hujan yang turun tadi malam. Sepertinya aku ingin lari sebelum ia menemukanku
atau aku harus berpura-pura tidak mengenalnya jika dia menemukanku. Bagaimana
aku bisa berkenalan dengan pemuda tampan yang kulitnya lebih cerah dan licin
seperti porselen dibandingkan kulitku yang tampak kusam dan berdebu dan
penampilannya juga lebih bersih sementara penampilanku benar-benar seorang
gelandangan yang sejati dengan sebuah koper disisi kiriku seperti seorang yang
baru saja diusir dari rumah. Oh tidak pertemuan ini hanya mempermalukan diriku
sendiri tapi aku sangat membutuhkan seorang teman, semoga saja dia bisa melihat
daya tarikku disisi yang lain tapi tetap saja aku merasa rendah diri.
Sepertinya dia sudah menemukanku, pandangan matanya sudah
tidak liar lagi tapi sekarang sedang tertuju ke arahku. Segera kualihkan mataku
ke arah yang lain berpura-pura kalau aku tidak sedang memperhatikannya. Kurasa
dia sudah hampir di sisiku karena aku tak berani melihatnya, degup jantungku
semakin tak menentu dan kuhirup nafas panjang-panjang berusaha untuk tenang.
Aku tidak bisa tenang jika berhadapan dengan seorang lelaki yang fisiknya
seperti seorang bintang Film korea. Panik benar-benar sudah menguasai
keadaanku bahkan aku tidak sadar ketika tanganku dengan lincah mengambil koper
yang kutaruh disisi kiri bermaksud hendak menghindar darinya dan aku masih
belum mau melihatnya. Segera ku ayunkan kaki kananku terlebih dulu berjalan
kesamping kiri karena jika kumelangkah ke depan sudah pasti akan bertabarakan
dengannya. Ketika kaki kiriku hendak melangkah tiba-tiba..
“where are you going?” oh Tuhan aku sudah gagal melarikan
diri mungkin lebih baik seperti itu atau aku bisa menggunakan cara kedua,
berpura-pura tidak mengenalnya semoga wajahku yang dia lihat difoto tidak sama
dengan wajahku yang dia lihat sekarang. Segera kumemalingkan kepalaku kesumber
suara dan saat itulah kami bertemu mata. Dugaanku benar matanya memang agak
sipit tapi tidak kecil seperti mata-mata orang cina, wajahnya memang seperti
bintang film korea yang selalu kulihat ditelevisi. Aku
seperti berhadapan dengan bintang korea favoriku Kim Jim Hoon.
“are you Meilani?” Suaranya juga memikat. Oh Tuhan Ternyata
dia mengenalku, dia bisa mengenalku mungkin karena aku punya rambut yang
lumayan panjang, lebat dan hitam yang merupakan ciri khasku sebab memang
semestinya begitu seperti pengalaman-pengalamanku sebelumnya. Aku diam sejenak
menimbang-nimbang apakah aku harus berpura-pura tidak mengenalnya atau sebaiknya
aku berterus terang kalau akulah perempuan yang sedang dia cari.
“Meilani, right?” nada ucapannya bukan lagi sebuah pertanyaan
melainkan kepastian.
“sorry?” seharusnya aku tidak boleh berdalih tapi aku terlalu
gugup jadi apa yang ada dipikiranku maka itulah yang akan kuucapkan.
“see?” balasnya sambil memperlihatkan fotoku yang ada
dihandphone-nya. Syukurlah difoto aku kelihatan jauh lebih cantik dan rapi
setidaknya dia tahu bahwa aku tidaklah terlalu buruk seperti yang dia lihat
sekarang.
“No” balasan ku seperti kilat yang menyambar, spontanitas
yang keluar dari gugup yang berlebihan. Dia memandangku dengan ekspresi seribu
tanda tanya dibenaknya. Kami membisu beberapa saat dan dia melihat wajahku yang
sedang menyimpan rasa malu yang tak terhingga.
“I mean yes. Itu saya” suaraku agak pelan saat mengucapkannya
sambilku mengerjapkan kedua mataku lalu menggigit bibir bawahku mencoba untuk
bertahan dari rasa malu dan gugup.
“oh okay” senyumannya seperti dibuat-buat seperti dia sedang
memikirkan tingkah anehku.
“I’m Danil” ucapnya dengan ekspresi wajah yang datar.
“Hi Danil, you can call me Miu” nada ucapanku seperti orang
yang sedang terlewat ceria dan penuh bersemangat, itu adalah salah satu bagian
yang mewujud jika aku dalam keadaan yang gugup seakan-akan aku tak bisa
mengawal emosiku. Aku memang sekarang sedang merasa senang tapi disaat yang
sama aku masih belum yakin mengenai penerimaannya padaku pada pandangan pertama
kami yang kuanggap sangat memalukan diriku sendiri.
Pandangan matanya berhenti seseaat ke arah koperku berdiri
dan aku menyadarinya jadi aku akan menjawabnya terlebih dulu sebelum dia
menanyakannya.
“oh sebenarnya tadi saya baru selesai kemas-kemas barang dari
rumah yang lama di Jurong west dan suitcase ini saya nak letakkan di rumah baru
saya di sembawang sebab awak nak jumpa saya di sini so saya rasa ada baiknya
kalau saya jumpa awak dulu pat sini” kuusahakan kata-kata itu terdengar tulus
tapi dalam hati aku sangat menyesali akan ucapanku barusan karena jujur aku
ingin lebih lama dengannya sebab aku sudah tak sanggup lagi bersendirian dengan
kesepian yang begitu menyiksa batinku.
“oh okay so you want go to sembawang right now?” wajahnya tampak
kecewa mungkin karena dia mengira bahwa aku tidak begitu serius tentang
pertemuan ini padahal akulah yang paling serius dan akulah yang paling
mengharapkanya.
“yeah tapi kalau awak nak lama-lama, saya okay ja sebab saya
memang tak nak balik rumah cepat-cepat” dengan terdesak aku mengatakannya
karena aku tak mau dia pergi sekarang. Kata-kataku terdengar seperti sebuah
permintaan dari sekadar penjelasan.
“oh okay” kali ini senyumannya benar-benar tulus dan
ketampanannya semakin sempurna ketika senyuman itu ikut menghiasi
wajahnya. Lalu dia menyambung ucapannya,
“kalau macam itu, ikut aku sekarang” dia sudah bergerak
sebelum aku sempat bertanya kemana ia akan membawaku tapi sebenarnya itu tidak
terlalu penting karena sekarangpun aku dalam keadaan yang tak punya tempat
untuk kutuju jika aku tidak mengikutinya. Aku sempat berpikir bahwa alamlah
tempat tinggalku yang sesungguhnya dan apa bedanya aku dengan hewan-hewan yang
selalu kulihat dijalanan, tiba-tiba aku merasa sedih ketika mengingat
pengusiranku tiga hari yang lalu bahkan aku merasa jauh lebih sedih dari
kejadian aku diusir oleh kak Serin kemarin.
“is it okay?” ia bertanya kepadaku ketika kami sedang berdiri
di tangga eskalator menuju lantai kedua Mrt.
“I am okay” jawabku sambil memberikannya senyuman yang jelas
sekali dipaksakan.
“I mean your suitcase” jarinya menunjuk ke arah koperku.
“oh it’s okay. Saya bisa membawanya” Bodoh sekali aku bisa
berpikir bahwa dia mau peduli dengan perasaanku dalam waktu secepat itu.
“tak apa aku saja yang membawanya” ucapannya terdengar tidak
tulus lebih sesuai untuk basa basi saja.
“tak apalah biar saya aja yang bawa” aku juga tak mungkin
membiarkannya membawa koper burukku ini, kurasa koper ini lebih buruk dan
berdebu dari telapak sepatunya jadi sudah pasti dia gengsi membawanya karena
dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya saja dia kelihatan bersinar dan baru.
Kami sudah melewati pagar-pagar penghalang yang merupakan
pintu masuk Stasiun lalu kami menuju ke tangga eskalator sebelah kiri karena
yang sebelah kanannya merupakan jalur kereta menuju ke tempat asalku tadi
sebelum bertemu dengannya. Kira-kira dua menit kami menunggu kedatangan kereta
tanpa satupun dari kami yang berbicara. Dia masuk kedalam kereta terlebih dulu,
ada sederet kursi kosong yang menganggur dan kami serentak menuju kesana juga
dalam keadaan yang membisu. Suasananya benar-benar canggung dan beribu alasan
menyerang pikiranku kalau dia mungkin kecewa ketika melihatku karena wajahku
digambar jauh lebih cantik dari wajahku yang dilihat olehnya sekarang dan mungkin
bahkan dia menyesal mengajakku pergi bersamanya. Sesekali aku mencuri pandang
ke arahnya, tatapan matanya lurus kedepan menghadap jendela kaca kereta. Aku
sempat merapikan rambutku dengan jemari lalu menghirup udara panjang-panjang
dan kemudian menghembuskannya keluar, satu-satunya cara yang bisa kulakukan
untuk bisa bersikap tenang. Kulihat dia sedang mengotak-atik handphone-nya dan
dia masih bersikap dingin kepadaku, mungkin juga dia malu dengan sekelilingnya
karena bersama perempuan yang penampilannya tak terurus. Ah aku terlalu banyak
berpikir yang bukan-bukan sehingga memperburuk keadaan. Sebaiknya aku memulai
pembicaraan dulu agar suasananya tidak secanggung sekarang. Kereta listrik
sedang berhenti di Stasiun Mrt Queenstown itu berarti dua stasiun Mrt sudah
terlangkaui dan kami masih enggan
berbicara.
“by the way, kita nak pergi kemana eh?” syukurlah aku punya
pertanyaan yang tepat untuk memecah kesunyiaan diantara kami sekaligus untuk
mengetahui perasaannya melalui ekspresi diwajahnya yang terlihat begitu tegang.
“Redhill” jawaban yang mengindikasikan bahwa dia tidak sedang
tertarik untuk berbicara bahkan matanya masih setia menatap handphone-nya.
Dugaanku benar bahwa dia tidak suka denganku, dia sama saja dengan lelaki-lelaki
tampan lainnya yang angkuh, bertingkah dan gengsian.
“oh okay, asal awak ajak saya pergi Redhill?” sekali lagi aku
memancingnya untuk berbicara karena bagai aku tak sanggup lagi berada disuasana
yang sungguh membuatku merasa terasing, cukup aku merasakan suasana sedemikian
saat aku di kelas 1 SMU dulu dan aku tak sanggup merasakannya lagi. Inilah
perasaan yang paling tak nyaman, sedetik seperti detik yang begitu panjang dan
membosankan.
“sorry?” kali ini dia memalingkan wajahnya ke arahku dengan
ekspresi wajah supaya aku mengulangi pertanyaanku yang barusan.
“never mind, lupakan aja” dengan senyum yang kupaksakan.
“oh okay” dia kembali meyibukkan diri dengan handphone-nya.
Sekarang sudah jelas bahwa dia tak suka kehadiranku, handphone itu hanya alasan
untuk dia menghindariku. Aku sangat menyesal karena bertemu dengannya dan
bahkan sekarang mengikutinya dan jauh lebih baik seandainya aku berdiam diri di
dalam rumah-rumahan yang ada di Playground jadi aku tak akan merasakan suasana
yang sangat tak nyaman yang rasanya sama seperti aku diasingkan oleh
teman-teman sekelasku ketika di kelas 1 SMU dulu.
Rasa kecewa yang menguasai keadaanku membuat aku tak sadar
bahwa kereta listrik yang kami tumpangi sudah tiba di Redhill.
“hei, dah sampai. Jom!” ucapannya yang kupikir terlalu kasar
untuk orang yang baru dia kenal. Aku mengikutinya dari belakang sambil
mengheret koper. Sengaja aku bergerak pelan untuk membuat jarak dengannya
sekaligus kuingin tahu reaksinya. Aku sudah jauh dibelakangnya tapi dia masih
enggan menoleh kebelakang dan semakin kupelankan langkahku sebagai bentuk
luahan dari rasa kesal dan kecewa. Aku baru saja menuruni tangga eskalator
menuju lantai dasar sementara dia sudah berada di pagar-pagar penghalang yang
merupakan pintu keluar stasiun Mrt yang juga terletak dilantai dasar karena
Stasiun Mrt redhill hanya memiliki dua lantai dimana lantai kedua merupakan
landasan rel keretanya.
Kehadirannya sudah lenyap dari kedua bola mataku kurasa dia
sudah melewati pagar-pagar penghalang itu. Ayunan langkah kaki-kakiku
dipercepat menuju pagar-pagar penghalang dan segera kutempel kartu ezlink-ku
untuk bisa membukanya lalu kulihat nilainya tinggal $1.50c bermakna aku harus
menambah nilainya jika aku masih ingin menggunakan Mrt lagi sebagai alat transportasi.
Ketika beberapa langkah aku menjauh dari pagar-pagar Mrt itu tapi masih di
dalam stasiun, kewujudannya kembali terlukis di bola mataku. Setelah dia
menyadari tatapanku kepadanya lalu dia kembali berjalan menuju sisi kiri
Stasiun seolah-olah memberi kesan kepadaku untuk mengikutinya. Aku tak punya
pilihan yang lebih baik melainkan mengikutinya dari belakang. Tatapannya tadi
sudah seperti pembunuh berdarah dingin saja, wajahnya datar tanpa ekspresi.
Beruntung ketampannya mampu sedikit munutupi sesuatu yang buruk darinya.
Dia sudah melewati sisi kiri Stasiun Mrt lalu lenyap dibalik
dinding tembok Stasiun dan kupercepatkan langkahku agar bayangannya kembali
muncul dibola mataku. Aku sudah merangkai tekad yang bulat untuk terus
bersamanya alasannya tentu saja bukan aku suka tetapi sikapnya yang
meremehkanku justeru itu yang membuat diriku merasa tertantang untuk
mengikutinya. Hal sama yang kulakukan kepada mantan kekasihku dua bulan yang
lalu. Akhir-akhir ini hidupku memang penuh dengan tantangan dan aku menyukainya
mungkin karena aku sudah terlalu lama berdiam diri atau hidup dengan melakukan
sesuatu yang diulang-ulang tiap harinya.
http://novelmao.blogspot.com/2012/11/chapter-3-tidur-bersama-hujan.html